ok buat hari ini Kami ingi memberi kan tentang sejarah sungai MUSI dan jembatan AMPERA(JEMBATAN BUNG KARNO) serta sejarah jembatan tersebut.
Langsung Saja..............
Legenda Asal Mula Nama Sungai Musi
Sungai Musi
adalah sebuah sungai yang terletak di provinsi Sumatra Selatan,
Indonesia. Dengan panjang 750 km, sungai ini merupakan yang terpanjang
di pulau Sumatera dan membelah Kota Palembang menjadi dua bagian.
Jembatan Ampera yang menjadi ikon Kota Palembang pun melintas di atas
sungai ini. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga sekarang, sungai ini
terkenal sebagai sarana transportasi utama bagi masyarakat.
Di tepi Sungai Musi terdapat Pelabuhan Boom Baru dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Geografi
Sungai
Musi membelah Kota Palembang menjadi dua bagian kawasan: Seberang Ilir
di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Sungai Musi, bersama
dengan sungai lainnya, membentuk sebuah delta di dekat Kota Sungsang.
Sungai Musi dengan Jembatan Ampera sebagai latar belakang
Mata
airnya bersumber di daerah Kepahiang, Bengkulu. Sungai Musi disebut
juga Batanghari Sembilan yang berarti sembilan sungai besar, pengertian
sembilan sungai besar adalah Sungai Musi beserta delapan sungai besar
yang bermuara di sungai Musi. Adapun delapan sungai tersebut adalah :
- Sungai Komering
- Sungai Rawas
- Sungai Leko
- Sungai Lakitan
- Sungai Kelingi
- Sungai Lematang
- Sungai Semangus
- Sungai Ogan
Legenda:
Zaman
dahulu kala, hubungan lalu lintaslaut di seluruh dunia di lakukan dgn
perahu layar. Pada jaman itu, banyak pula lanun atau bajak laut. Ketika
itu perdagangan tidak memakai sistem jual beli tetapi dengan sistem
barter.
Menurut cerita, ada kelompok bajak laut asal negeri Cina yang terdiri dari tiga perahu layar, berlayar ke Selat Bangka.
Perompak
itu di pimpin oleh seorang yang bergelar Kapitan. Mereka tertarik
ketika melalui muara Sungai Musi, terutama karena lebarnya. Kapitan
mencari dalam peta, ternyata sungai itu belum ada namanya di peta.
Para
perompak itu melihat banyak perahu besar dan tongkang datang dari hulu
sarat dengan muatan hasil bumi, mereka yakin di wilayah hulu sungai
pastilah daerah yang subur. Mereka pun mulai membentuk kelompok2 untuk
menjelajah daerah2 hulu.
Ada kelompok mereka yang sampai
di daerah dataran rendah Gunung Dempo (daerah Lahat sekarang), mereka
kagum melihat betapa suburnya tanah. Hasil sayur mayur tidak terpanen.
Tanaman kopi bagaikan hutan dgn buahnya yang besar2. Begitu juga
cengkih, kayu manis dan berbagai tanaman lainnya.
Kelompok
yang menjelajah Muara Enim skrg, juga kagum dgn melihat tanaman rempah2
dan batubara yang muncul di permukaan tanah. Sementara itu yang sampai
di wilayah Ranau, begitu takjub ketika melihat tembakau pun tumbuh
disana.
Kapitan pun begitu tertarik dengan Wilayah
Sumatera Selatan yang berpusat di Sungai Musi, dia pun memutuskan untuk
tinggal lama di Palembang. Dia memberi tanda melingkari daerah Sumatera
Selatan dalam peta seraya berkata :
"Kita skrg berada di
daerah ini. Ternyata daerah dan sungai ini belum ada namanya di peta.
Sudah ku pikir2, kita menamakan daerah ini Mu Ci (dalam bahasa tua Cina
Han, Mu Ci berarti Ayam Betina, dan Mu Ci adalah nama bagi Dewi Ayam
Betina yang memberikan keberuntungan pada manusia)
Seorang perompak bertanya : "Mengapa Tuan menamakan daerah ini Mu Ci?"
"Bukankah
Mu Ci (Ayam Betina) adalah makhluk yg memberikan keuntungan buat
manusia? Sekali bertelur belasan butir. telur adalah sumber makanan dan
rezeki. Daerah ini pun sangat subur. Luar biasa suburnya. hasil
rempah2nya bermutu tinggi. Ada Tambang batubara, emas dll. Maka daerah
ini layak di sebut Mu Ci, karena tanahnya demikian kaya raya memberi
keberuntungan bagi manusia".
"Kalian ingat, penduduk di daerah ini juga memiliki sifat yang baik yang dimiliki ayam.
Kaum
pria daerah ini ramah, mudah menerima orang asing, dapat bergaul dengan
baik dan suka menolong. Akan tetapi jangan berbuat curang atau menipu
mereka. Bukankah ada empat orang teman kita yang mati karena di tusuk
penduduk dgn pisau?"
Pemimpin Perompak melanjutkan pembicaraannya...
"Itu
salah teman kita sendiri, sudah saya perintahkan untuk berperangai
baik. daerah ini dan seluruh penduduknya akan jadi mitra dagang kita
dalam jangka panjang. Selain itu, wanita di daerah Mu Ci ini juga sangat
baik, kulit mereka kuning seperti kita. Tapi wajahnya tidak seperti
wajah orang Eropa dan tidak mirip kita. Kaum wanita daerah ini hebat dan
mengagumkan. Mereka bekerja keras membantu suami.
Tak
ubahnya seperti induk ayam betina. Bekerja keras mencari makanan untuk
anak2nya. Hormat dan baik pada sesamanya. Akan tetapi jangan coba2
mengganggu mereka dan anak2nya. Mereka bisa lebih ganas dari elang
sekalipun.
Beratus tahun kemudian kata Mu Ci berubah menjadi Musi....
Kesimpulan :
Cerita
ini adalah Legenda, orang tak percaya pernah terjadi. Namun kita
melihat ada Sungai Musi dengan daerah Sumatera Selatan yang subur.
Hikmah
dari legenda ini adalah, masyarakat Sumsel ramah tamah, tetapi berani
berindak tegas bila harga dirinya di usik adalah sikap yang di sergani.
Walaupun Bajak Laut jahat dan Kejam dalam berdagang mereka tetap ramah
dan rendah hati.
Allahumma Bissawab...
"dari berbagai sumber"
Sejarah Jembatan Ampera
Pembangunan jembatan gerak ini dimulai pada bulan april 1962, setelah
mendapat persetujuan dari presiden soekarno. Biaya pembangunannya
diambil dari dana rampasan perang jepang dalam kata lain semua di
tanggung oleh pemerintah jepang dari kontraktor dan pekerja.
Pada awalnya, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini,
dinamai jembatan bung karno. Menurut sejarawan djohan hanafiah,
pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada presiden ri
pertama itu. Bung karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan
warga palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas sungai musi.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60
meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi
sungai musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi
kapal maksimum yang bisa lewat di bawah jembatan ampera hanya sembilan
meter dari permukaan air sungai.Sejak tahun 1970, jembatan ampera sudah
tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk
mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap mengganggu
arus lalu lintas antara seberang ulu dan seberang ilir, dua daerah kota
palembang yang dipisahkan oleh sungai musi.
Jembatan ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan
dana sekitar rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran
akan ancaman kerusakan jembatan ampera bisa membuatnya ambruk.
Bersamaan dengan eforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan
ini diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat
menara jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah
tidak berfungsi. Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan
dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan
terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.
Bung Karno dan Jembatan Sungai Musi
Jembatan Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan
Jembatan
Sungai Musi, atau yang kini dikenal sebagai Jembatan Ampera, memang
sangat identik dengan kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).
Jembatan ini bisa dikatakan menjadi salah satu ikon kota Palembang,
seperti halnya Sungai Musi yang dilintasi.
Selain sebagai ikon Palembang, jembatan ini juga memiliki fungsi yang
sangat vital dalam transportasi di Pulau Sumatera. Selain sebagai
penghubung antara dua wilayah kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran
Sungai Musi, jembatan ini berfungsi pula sebagai jalur transportasi
darat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Provinsi Lampung dengan
Provinsi Jambi, Riau hingga Aceh. Jalur yang menggunakan jembatan ini
dikenal sebagai Jalur Lintas Timur Sumatera.
Demikian vital nya fungsi jembatan ini kini, hingga menggugah minat
penulis untuk menelaah latar belakang sejarah pembangunannya. Dan
ternyata, fakta sejarah menunjukkan bahwasanya andil Bung Karno dalam
pembangunan jembatan ini sangatlah besar.
Jembatan Bung Karno
Dalam artikel berjudul “Kisah Jembatan Bung Karno” yang ditulis oleh
seorang peminat sejarah sekaligus pengusaha, Anton D.H. Nugrahanto,
terkuak fakta bahwasanya pemikiran untuk membangun sebuah jembatan
diatas aliran Sungai Musi telah ada sejak masa kolonial Belanda.
Di tahun 1906, muncul gagasan untuk menyatukan seberang Ulu dan
seberang Ilir kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran Musi dengan
membangun sebuah jembatan.
Ide ini kembali mencuat pada tahun 1924, ketika kota Palembang
dipimpin oleh seorang Residen bernama Le Cocq de Ville. Sang residen pun
berangkat ke Batavia guna meminta bantuan Gubernur Jenderal Dirk Fock
demi merrealisasikan ide tersebut.
De Ville menunjukkan rancangan jembatan yang dibuat oleh seorang
arsitek sekaligus temannya kepada Fock. Sang Gubernur Jenderal pun
sepakat dengan rancangan itu. Lalu, empat tahun kemudian, tersiar kabar
bahwa jembatan tersebut akan dibangun, meskipun Fock sudah tak lagi
menjabat Gubernur Jenderal. Namun rencana itu batal karena Hindia
Belanda turut terkena dampak resesi dunia atau krisis Malaise di tahun
1929. Ketika itu, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk
menghentikan sementara seluruh proyek raksasa, termasuk jembatan Sungai
Musi.
Ternyata, hingga pemerintahan Hindia Belanda runtuh ketika Jepang
menginvasi nusantara tahun 1942, pembangunan jembatan itu belum juga
terrealisasi. Barulah ketika Indonesia merdeka, tepatnya dipertengahan
tahun 1950-an, pembicaraan mengenai hal tersebut dibuka kembali.
Pada tahun 1956, dalam sebuah rapat Parlemen Daerah Peralihan Awal
(DPRD) untuk Kota Palembang, muncul kembali usulan untuk membangun
Jembatan di atas Sungai Musi. Rapat pun menyepakati usulan tersebut dan
diputuskanlah agar seluruh jajaran pemerintahan kota Palembang bekerja
untuk membangun jembatan yang kemudian dinamakan Jembatan Musi itu.
Pasca keluarnya keputusan DPRD tersebut, para pemimpin Palembang dan
Sumsel pun segera membicarakan hal itu dan akhirnya dicapailah
kesepakatan untuk mengumpulkan modal awal bagi pembangunan jembatan itu.
Hingga tahun 1957, pemerintah daerah berhasil mengumpulkan modal awal
sebesar Rp. 30.000, yang tentu saja belum cukup untuk dapat membangun
sebuah jembatan yang kokoh hingga tuntas.
Maka, para pemimpin Palembang dan Sumsel seperti Gubernur Achmad
Bastari, Penguasa Perang Daerah Kolonel Harun Sohar, Walikota Ali Amin
serta pengusaha lokal bernama Indra Caya yang tergabung dalam Tim
Pembangunan Jembatan Musi pergi ke Jakarta guna menemui Bung Karno.
Para tokoh Sumsel tersebut kemudian berbicara dengan Bung Karno
perihal rencana pembangunan jembatan Musi beserta progressnya hingga
saat itu. Mendengar hal itu, Bung Karno sangat sepakat. Bahkan, ia
berkata bahwa dirinya ingin membangun sebuah jembatan yang bukan saja
mampu membangunkan kekuatan ekonomi rakyat, tapi juga jembatan yang
mampu menggugah daya sadar rakyat serta bisa menjadi lambang dari kota
Palembang.
“
Jembatan itu harus aman, harus memberikan rasa aman kepada yang
menggunakannya, jangan sampai dibangun lantas roboh, dibangun lantas
roboh…dibangun lantas roboh….itu pernah terjadi di Belanda, makanya
orang Belanda sangat hati-hati jikalau sedang membangun Jembatan,
hitungannya teliti,” ujar Bung Karno seperti dikutip oleh Anton dalam artikelnya.
Dari fakta sejarah ini, terlihat bahwa pemikiran mengenai aspek
keamanan dan kesinambungan sebuah ‘karya’ infrastruktur telah
dikemukakan oleh Bung Karno saat itu, yang kemudian menemukan
relevansinya di masa kini ketika banyak terjadi peristiwa kerusakan
bangunan atau sarana infrastruktur publik akibat watak korup yang
menjangkiti birokrasi.
Kemudian, anggota tim mendiskusikan masalah rancangan dan pendanaan
jembatan dengan Bung Karno. Pada kesempatan itu, Bung Karno menegaskan
agar para tokoh Sumsel itu tidak merisaukan masalah pembiayaan karena
hal itu akan ditanggung oleh pemerintah Pusat. “
Yang penting
bagaimana agar rakyat Palembang mampu mendapatkan kebanggaannya
sekaligus meningkatkan kesejahteraannya lewat pembangunan Jembatan ini,” tegas Bung Karno.
Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mendanai pembangunan jembatan
Musi dengan dana Pampasan Perang dari pihak Jepang kepada Indonesia yang
totalnya mencapai 200 juta dollar, sebagai ganti rugi akibat
penjajahan yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia ketika Perang
Pasifik. Di tahun 1960, Pemerintahan Bung Karno berhasil memperoleh 20
juta dollar dari Jepang sebagai tahap pertama pembayaran pampasan
perang tersebut. Maka, dimulailah perrencanaan pembangunan Jembatan Musi
secara matang ditahun itu juga.
Jembatan ini dirancang oleh arsitek Jepang, karena Bung Karno
mengerti kepandaian orang Jepang dalam membangun sebuah jembatan kokoh
di wilayah yang secara geologis rawan gempa seperti Sumatera. Bung Karno
pun menginstruksikan sang arsitek untuk membangun boulevard di kedua
sisi jembatan, serta meminta agar jembatan itu bisa bertahan selama
lebih dari seratus tahun. Pada tahun 1962, pembangunan jembatan pun
dimulai, yang ditandai dengan peletakkan batu pertama oleh Bung Karno.
Diperlukan waktu tiga tahun guna menuntaskan pembangunan jembatan
vital terssebut. Pada tahun 1965, jembatan itu pun tuntas dibangun dan
rakyat Palembang menamai jembatan tersebut sebagai “Jembatan Bung
Karno”. Hal itu merupakan manifestasi rasa terima kasih warga Palembang
kepada Bung Karno yang telah berjasa membangun jembatan yang nantinya
menjadi ikon dan kebanggaan rakyat Palembang tersebut.
Pengabaian Jasa
Tak lama setelah jembatan Bung Karno berdiri, gejolak politik
menghantam Indonesia sejak Oktober 1965 sebagai buah dari pertentangan
ideologis yang kian meruncing di masyarakat. Pergolakan politik
diseluruh tanah air, termasuk Palembang, membuat Bung Karno dan kelompok
politik kiri (PKI) tersudutkan oleh situasi. Demonstrasi yang menjalar
diberbagai tempat yang awalnya menyuarakan tuntutan pembubaran PKI pun
kian hari kian mengarahkan ‘bidikannya’ kepada Bung Karno selaku sekutu
politik PKI selama Demokrasi Terpimpin.
Kekuatan-kekuatan anti PKI yang didukung oleh militer (AD) dan
negara-negara Barat pun menganggap Bung Karno adalah pemimpin yang harus
segera dilikuidasi kekuasaannya, baik kekuasaan politik maupun
simbolik. Salah satu bentuk dari likuidasi secara simbolik adalah
pengubahan nama bangunan atau sarana publik yang awalnya menggunakan
nama ‘Bung Karno’. Salah satu ‘korbannya’ adalah Jembatan Bung Karno di
atas Musi yang diganti namanya menjadi “Jembatan Ampera”.
Untuk diketahui, Ampera yang merupakan singkatan dari “Amanat
Penderitaan Rakyat” merupakan slogan politik yang kerap disuarakan para
aktivis demonstran anti PKI dan anti Bung Karno ditahun 1966, yang
kemudian dikenal sebagai ‘Angkatan 66’. Selain Tritura (Tiga Tuntutan
Rakyat), Ampera menjadi sebuah istilah yang sangat lekat dengan kelompok
angkatan 66 yang anti Bung Karno dan pro Orde Baru. Bahkan, kabinet
pertama yang dipimpin oleh Letjen Soeharto selaku ketua Presidium juga
dinamakan
Kabinet Ampera I.
Pengubahan nama jembatan Bung Karno menjadi jembatan Ampera ini tiada
lain merupakan upaya rezim Orde Baru untuk mengabaikan jasa Bung Karno
dalam proses pembangunannya. Hal ini juga dilakukan Orde Baru terhadap
Gelora Bung Karno di Jakarta, yang dirubah namanya menjadi Gelora
Senayan (namun telah dikembalikan namanya menjadi Gelora Bung Karno
ketika Gusdur berkuasa ditahun 2001).
Upaya pengembalian nama Bung Karno sebagai nama jembatan sungai Musi
ini pernah dilakukan pada tahun 2001, ketika peringatan 100 tahun Bung
Karno diperingati secara semarak diseluruh tanah air. Sebagian pihak,
terutama kalangan PDI Perjuangan Sumatera Selatan, mengusulkan kepada
pihak pemerintah provinsi dan DPRD agar mengubah nama jembatan Ampera
menjadi jembatan Bung Karno kembali. Namun usulan ini ditolak dengan
alasan usulan itu bernuansa politis. Selain itu, sebagian mantan aktivis
angkatan 66 juga menolak usulan tersebut.
Bagi sebagian pihak, nama mungkin bukanlah hal yang penting. Namun
ketika kita bicara soal jasa seorang pahlawan yang berupaya dinafikan
melalui pengubahan nama sebuah jembatan yang ia bangun demi perbaikan
taraf hidup rakyatnya, maka hal itu harus dikoreksi. Adalah ironis,
ketika ada beberapa negara asing menamai jalan protokol di ibukotanya
dengan nama ‘Soekarno’ yang menandai kekaguman dan penghargaan mereka
terhadap jasa sang Proklamator, negeri ini justru masih mendiamkan
‘manipulasi’ nama sebuah jembatan yang menunjukkan masih ‘tunduknya’
kita pada manipulasi sejarah yang ‘diproduksi’ oleh rezim tiran
komprador asing.