Monday 8 August 2016

Assalamualaikum

Baiklah Untuk kali ini saya akan membahas tentang bagaimana caranya mengatasi Bagaimana caranya flash ulang Asus Zenfone C
untuk kali ini saya membahas cara flashnya tidak menggunakan APLIKASI FLASH TOOL tapi yang Akan kita gunakan adalah COMMAND PROMPT (CMD) yang terdapat di semua Sistem Operasi PC maupun Laptop.
Langsung saja....
Bahan-bahan:
1. ADB: Download -/+9MB
2. Intel USB Driver: Download -/+8MB
3. Firmware: Download -/+755MB

Langkah-langkahnya:
1. Install ADB dan Intel USB Driver
2. Extract firmwarenya, jadikan satu folder biar rapi



3. Matikan HP kalian, kalau sudah tekan dan tahan tombol Power+Vol UP
4. Sambungkan HPnya dengan leptop/komputer
5. Masuk ke folder yang udah di extract tadi
6. Jika sudah tekan Shift+Klik Kanan. Nanti akan seperti di bawah ini.

7. Pilih Open command window here. Setelah itu akan keluar cmd

8. Jika sudah keluar seperti gambar di atas. Silahkan ketik di bawah ini,, satu-satu ya.

  • fastboot erase cache --> tekan enter
  • fastboot erase userdata --> tekan enter
  • fastboot erase system --> tekan enter
  • fastboot reboot-bootloader --> tekan enter
  • fastboot flash boot boot.img --> tekan enter
  • fastboot flash recovery recovery.img --> tekan entar
  • fastboot flash fastboot fastboot.img --> tekan entar
  • fastboot flash system system.img --> tekan entar
  • fastboot reboot --> tekan entar

NB: di bagian fastboot flash system system.img nanti akan sedikit lama, jadi jangan di cancel. Kalau kalian cancel nanti HPnya bakalan gak bisa hidup, cuman sampe di loading Asus doang.

Wednesday 20 August 2014

Siang Ini Saya Akan Bahas Tenang PEMPEK,PEMPEK Adalah Makanan Khas Palembang Yang Berasal Dari Ikan Giling Okk Sekarang Kita Langsung Aja.
SEJARAH PEMPEK
Menurut sejarahnya, mpek-mpek / pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang-Darussalam. Nama pempek atau empek-empek diyakini berasal dari sebutan “apek”, yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.
Berdasar cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Si apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan “pek … apek”, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai pempek atau empek-empek.
Pada awalnya pempek dibuat dari ikan belida. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan belida, ikan tersebut diganti dengan ikan gabus yang harganya lebih murah, tetapi dengan rasa yang tetap gurih selain itu skrg ini digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman, dan bujuk. Dipakai juga jenis ikan laut seperti Tenggiri, Kakap Merah, parang-parang, dan ekor kuning.
Jenis-jenis Empek-mpek di Palembang ada banyak antara lain :
Ukuran besar :
Pempek Kapal Selam (Telok Besak)
Pempek Lenjer
Pempek Lenggang
Ukuran kecil :
Pempek Telok kecik (telur kecil)
Pempek iris (lenjer yang dipotong)
Pempek Bulat (ada’an)
Pempek Keriting/kerupuk
Pempek Tahu
Pempek kulit
Pempek Pistel (isi pepaya)
Pempek Panggang

Tuesday 19 August 2014

ok buat hari ini Kami ingi memberi kan tentang sejarah sungai MUSI dan jembatan AMPERA(JEMBATAN BUNG KARNO) serta sejarah jembatan tersebut.
Langsung Saja..............

Legenda Asal Mula Nama Sungai Musi

 Sungai Musi adalah sebuah sungai yang terletak di provinsi Sumatra Selatan, Indonesia. Dengan panjang 750 km, sungai ini merupakan yang terpanjang di pulau Sumatera dan membelah Kota Palembang menjadi dua bagian. Jembatan Ampera yang menjadi ikon Kota Palembang pun melintas di atas sungai ini. Sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hingga sekarang, sungai ini terkenal sebagai sarana transportasi utama bagi masyarakat.
Di tepi Sungai Musi terdapat Pelabuhan Boom Baru dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Geografi
Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua bagian kawasan: Seberang Ilir di bagian utara dan Seberang Ulu di bagian selatan. Sungai Musi, bersama dengan sungai lainnya, membentuk sebuah delta di dekat Kota Sungsang.

Sungai Musi dengan Jembatan Ampera sebagai latar belakang
Mata airnya bersumber di daerah Kepahiang, Bengkulu. Sungai Musi disebut juga Batanghari Sembilan yang berarti sembilan sungai besar, pengertian sembilan sungai besar adalah Sungai Musi beserta delapan sungai besar yang bermuara di sungai Musi. Adapun delapan sungai tersebut adalah :
  1. Sungai Komering
  2. Sungai Rawas
  3. Sungai Leko
  4. Sungai Lakitan
  5. Sungai Kelingi
  6. Sungai Lematang
  7. Sungai Semangus
  8. Sungai Ogan
Legenda:
Zaman dahulu kala, hubungan lalu lintaslaut di seluruh dunia di lakukan dgn perahu layar. Pada jaman itu, banyak pula lanun atau bajak laut. Ketika itu perdagangan tidak memakai sistem jual beli tetapi dengan sistem barter.

Menurut cerita, ada kelompok bajak laut asal negeri Cina yang terdiri dari tiga perahu layar, berlayar ke Selat Bangka.
Perompak itu di pimpin oleh seorang yang bergelar Kapitan. Mereka tertarik ketika melalui muara Sungai Musi, terutama karena lebarnya. Kapitan mencari dalam peta, ternyata sungai itu belum ada namanya di peta.

Para perompak itu melihat banyak perahu besar dan tongkang datang dari hulu sarat dengan muatan hasil bumi, mereka yakin di wilayah hulu sungai pastilah daerah yang subur. Mereka pun mulai membentuk kelompok2 untuk menjelajah daerah2 hulu.

Ada kelompok mereka yang sampai di daerah dataran rendah Gunung Dempo (daerah Lahat sekarang), mereka kagum melihat betapa suburnya tanah. Hasil sayur mayur tidak terpanen. Tanaman kopi bagaikan hutan dgn buahnya yang besar2. Begitu juga cengkih, kayu manis dan berbagai tanaman lainnya.

Kelompok yang menjelajah Muara Enim skrg, juga kagum dgn melihat tanaman rempah2 dan batubara yang muncul di permukaan tanah. Sementara itu yang sampai di wilayah Ranau, begitu takjub ketika melihat tembakau pun tumbuh disana.

Kapitan pun begitu tertarik dengan Wilayah Sumatera Selatan yang berpusat di Sungai Musi, dia pun memutuskan untuk tinggal lama di Palembang. Dia memberi tanda melingkari daerah Sumatera Selatan dalam peta seraya berkata :

"Kita skrg berada di daerah ini. Ternyata daerah dan sungai ini belum ada namanya di peta. Sudah ku pikir2, kita menamakan daerah ini Mu Ci (dalam bahasa tua Cina Han, Mu Ci berarti Ayam Betina, dan Mu Ci adalah nama bagi Dewi Ayam Betina yang memberikan keberuntungan pada manusia)

Seorang perompak bertanya : "Mengapa Tuan menamakan daerah ini Mu Ci?"

"Bukankah Mu Ci (Ayam Betina) adalah makhluk yg memberikan keuntungan buat manusia? Sekali bertelur belasan butir. telur adalah sumber makanan dan rezeki. Daerah ini pun sangat subur. Luar biasa suburnya. hasil rempah2nya bermutu tinggi. Ada Tambang batubara, emas dll. Maka daerah ini layak di sebut Mu Ci, karena tanahnya demikian kaya raya memberi keberuntungan bagi manusia".

"Kalian ingat, penduduk di daerah ini juga memiliki sifat yang baik yang dimiliki ayam.
Kaum pria daerah ini ramah, mudah menerima orang asing, dapat bergaul dengan baik dan suka menolong. Akan tetapi jangan berbuat curang atau menipu mereka. Bukankah ada empat orang teman kita yang mati karena di tusuk penduduk dgn pisau?"

Pemimpin Perompak melanjutkan pembicaraannya...
"Itu salah teman kita sendiri, sudah saya perintahkan untuk berperangai baik. daerah ini dan seluruh penduduknya akan jadi mitra dagang kita dalam jangka panjang. Selain itu, wanita di daerah Mu Ci ini juga sangat baik, kulit mereka kuning seperti kita. Tapi wajahnya tidak seperti wajah orang Eropa dan tidak mirip kita. Kaum wanita daerah ini hebat dan mengagumkan. Mereka bekerja keras membantu suami.

Tak ubahnya seperti induk ayam betina. Bekerja keras mencari makanan untuk anak2nya. Hormat dan baik pada sesamanya. Akan tetapi jangan coba2 mengganggu mereka dan anak2nya. Mereka bisa lebih ganas dari elang sekalipun.

Beratus tahun kemudian kata Mu Ci berubah menjadi Musi....

Kesimpulan :
Cerita ini adalah Legenda, orang tak percaya pernah terjadi. Namun kita melihat ada Sungai Musi dengan daerah  Sumatera Selatan yang subur.
Hikmah dari legenda ini adalah, masyarakat Sumsel ramah tamah, tetapi berani berindak tegas bila harga dirinya di usik adalah sikap yang di sergani. Walaupun Bajak Laut jahat dan Kejam dalam berdagang mereka tetap ramah dan rendah hati.

Allahumma Bissawab...

"dari berbagai sumber"


Sejarah Jembatan Ampera


Pembangunan jembatan gerak ini dimulai pada bulan april 1962, setelah mendapat persetujuan dari presiden soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana rampasan perang jepang dalam kata lain semua di tanggung oleh pemerintah jepang dari kontraktor dan pekerja.

Pada awalnya, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini, dinamai jembatan bung karno. Menurut sejarawan djohan hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada presiden ri pertama itu. Bung karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas sungai musi.










Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi sungai musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah jembatan ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.Sejak tahun 1970, jembatan ampera sudah tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap mengganggu arus lalu lintas antara seberang ulu dan seberang ilir, dua daerah kota palembang yang dipisahkan oleh sungai musi.











Jembatan ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan dana sekitar rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan jembatan ampera bisa membuatnya ambruk.

Bersamaan dengan eforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan ini diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat menara jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah tidak berfungsi. Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.


Bung Karno dan Jembatan Sungai Musi


Jembatan Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan
Jembatan Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan
Jembatan Sungai Musi, atau yang kini dikenal sebagai Jembatan Ampera, memang sangat identik dengan kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Jembatan ini bisa dikatakan menjadi salah satu ikon kota Palembang, seperti halnya Sungai Musi yang dilintasi.
Selain sebagai ikon Palembang, jembatan ini juga memiliki fungsi yang sangat vital dalam transportasi di Pulau Sumatera. Selain sebagai penghubung antara dua wilayah kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran Sungai Musi, jembatan ini berfungsi pula sebagai jalur transportasi darat yang menghubungkan  Pulau Jawa dan Provinsi Lampung  dengan Provinsi Jambi, Riau hingga Aceh. Jalur yang menggunakan jembatan ini dikenal sebagai Jalur Lintas Timur Sumatera.
Demikian vital nya fungsi jembatan ini kini, hingga menggugah minat penulis untuk menelaah latar belakang sejarah pembangunannya. Dan ternyata, fakta sejarah menunjukkan bahwasanya andil Bung Karno dalam pembangunan jembatan ini sangatlah besar.
Jembatan Bung Karno
Dalam artikel berjudul “Kisah Jembatan Bung Karno” yang ditulis oleh seorang peminat sejarah sekaligus pengusaha, Anton D.H. Nugrahanto, terkuak fakta bahwasanya pemikiran untuk membangun sebuah jembatan diatas aliran Sungai Musi telah ada sejak masa kolonial Belanda.
Di tahun 1906, muncul gagasan untuk menyatukan seberang Ulu dan seberang Ilir kota Palembang yang dipisahkan oleh aliran Musi dengan membangun sebuah jembatan.
Ide ini kembali mencuat pada tahun 1924, ketika kota Palembang dipimpin oleh seorang Residen bernama Le Cocq de Ville. Sang residen pun berangkat ke Batavia guna meminta bantuan Gubernur Jenderal Dirk Fock demi merrealisasikan ide tersebut.
De Ville menunjukkan rancangan jembatan yang dibuat oleh seorang arsitek sekaligus temannya kepada Fock. Sang Gubernur Jenderal pun sepakat dengan rancangan itu. Lalu, empat tahun kemudian, tersiar kabar bahwa jembatan tersebut akan dibangun, meskipun Fock sudah tak lagi menjabat Gubernur Jenderal. Namun rencana itu batal karena Hindia Belanda turut terkena dampak  resesi dunia atau krisis Malaise di tahun 1929. Ketika itu, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menghentikan sementara seluruh proyek raksasa, termasuk jembatan Sungai Musi.
Ternyata, hingga pemerintahan Hindia Belanda runtuh ketika Jepang menginvasi nusantara tahun 1942, pembangunan jembatan itu belum juga terrealisasi. Barulah ketika Indonesia merdeka, tepatnya dipertengahan tahun 1950-an, pembicaraan mengenai hal tersebut dibuka kembali.
Pada tahun 1956, dalam sebuah rapat Parlemen Daerah Peralihan Awal (DPRD) untuk Kota Palembang, muncul kembali usulan untuk membangun Jembatan di atas Sungai Musi. Rapat pun menyepakati usulan tersebut dan diputuskanlah agar seluruh jajaran pemerintahan kota Palembang bekerja untuk membangun jembatan yang kemudian dinamakan Jembatan Musi itu.
Pasca keluarnya keputusan DPRD tersebut, para pemimpin Palembang dan Sumsel pun segera membicarakan hal itu dan akhirnya dicapailah kesepakatan untuk mengumpulkan modal awal bagi pembangunan jembatan itu. Hingga tahun 1957, pemerintah daerah berhasil mengumpulkan modal awal sebesar Rp. 30.000, yang tentu saja belum cukup untuk dapat membangun sebuah jembatan yang kokoh hingga tuntas.
Maka, para pemimpin Palembang dan Sumsel seperti Gubernur Achmad Bastari, Penguasa Perang Daerah Kolonel Harun Sohar, Walikota Ali Amin serta pengusaha lokal bernama Indra Caya yang tergabung dalam Tim Pembangunan Jembatan Musi pergi ke Jakarta guna menemui Bung Karno.
Para tokoh Sumsel tersebut kemudian berbicara dengan Bung Karno perihal rencana pembangunan jembatan Musi beserta progressnya hingga  saat itu. Mendengar hal itu, Bung Karno sangat sepakat.  Bahkan, ia berkata bahwa dirinya ingin membangun sebuah jembatan yang bukan saja mampu membangunkan kekuatan ekonomi rakyat, tapi juga jembatan yang mampu menggugah daya sadar rakyat serta bisa menjadi lambang dari kota Palembang.
Jembatan itu harus aman, harus memberikan rasa aman kepada yang menggunakannya, jangan sampai dibangun lantas roboh, dibangun lantas roboh…dibangun lantas roboh….itu pernah terjadi di Belanda, makanya orang Belanda sangat hati-hati jikalau sedang membangun Jembatan, hitungannya teliti,” ujar Bung Karno  seperti dikutip oleh Anton dalam artikelnya.
Dari fakta sejarah ini, terlihat bahwa pemikiran mengenai aspek keamanan dan kesinambungan  sebuah ‘karya’ infrastruktur telah dikemukakan oleh Bung Karno saat itu, yang kemudian menemukan relevansinya di masa kini ketika  banyak terjadi peristiwa kerusakan bangunan atau sarana infrastruktur publik akibat watak korup yang menjangkiti birokrasi.
Kemudian, anggota tim mendiskusikan masalah rancangan dan pendanaan jembatan dengan Bung Karno.  Pada kesempatan itu, Bung Karno menegaskan agar para tokoh Sumsel itu tidak merisaukan masalah pembiayaan karena hal itu akan ditanggung oleh pemerintah Pusat. “Yang penting bagaimana agar rakyat Palembang mampu mendapatkan kebanggaannya sekaligus meningkatkan kesejahteraannya lewat pembangunan Jembatan ini,” tegas Bung Karno.
Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk mendanai pembangunan jembatan Musi dengan dana Pampasan Perang dari pihak Jepang kepada Indonesia yang totalnya mencapai  200 juta dollar, sebagai ganti rugi akibat penjajahan yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia ketika Perang Pasifik.  Di tahun 1960, Pemerintahan Bung Karno berhasil memperoleh 20 juta dollar dari Jepang sebagai  tahap pertama pembayaran pampasan perang tersebut. Maka, dimulailah perrencanaan pembangunan Jembatan Musi secara matang ditahun itu juga.
Jembatan ini dirancang oleh arsitek Jepang, karena Bung Karno mengerti kepandaian orang Jepang dalam  membangun sebuah jembatan kokoh di wilayah yang secara geologis rawan gempa seperti Sumatera. Bung Karno pun menginstruksikan  sang arsitek  untuk membangun boulevard di kedua sisi jembatan, serta meminta agar jembatan itu bisa bertahan selama lebih dari seratus tahun. Pada tahun 1962, pembangunan jembatan pun dimulai, yang ditandai dengan peletakkan batu pertama oleh Bung Karno.
Diperlukan waktu tiga tahun guna menuntaskan pembangunan jembatan vital terssebut. Pada tahun 1965, jembatan itu pun tuntas dibangun dan rakyat Palembang menamai jembatan tersebut sebagai “Jembatan Bung Karno”. Hal itu merupakan manifestasi rasa terima kasih warga Palembang kepada Bung Karno yang telah berjasa membangun jembatan yang nantinya menjadi ikon dan kebanggaan rakyat Palembang tersebut.
Pengabaian Jasa
Tak lama setelah jembatan Bung Karno berdiri, gejolak politik menghantam Indonesia sejak Oktober 1965 sebagai buah dari pertentangan ideologis yang kian meruncing di masyarakat. Pergolakan politik diseluruh tanah air, termasuk Palembang, membuat Bung Karno dan kelompok politik kiri (PKI) tersudutkan oleh situasi. Demonstrasi yang menjalar diberbagai tempat  yang awalnya menyuarakan tuntutan pembubaran PKI pun kian hari kian mengarahkan ‘bidikannya’ kepada Bung Karno selaku sekutu politik PKI selama Demokrasi Terpimpin.
Kekuatan-kekuatan anti PKI yang didukung oleh militer (AD) dan negara-negara Barat pun menganggap Bung Karno adalah pemimpin yang harus segera dilikuidasi kekuasaannya, baik kekuasaan politik maupun simbolik. Salah satu bentuk dari likuidasi secara simbolik adalah pengubahan nama bangunan atau sarana publik yang awalnya menggunakan nama ‘Bung Karno’. Salah satu ‘korbannya’ adalah Jembatan Bung Karno di atas Musi yang  diganti namanya menjadi “Jembatan Ampera”.
Untuk diketahui, Ampera yang merupakan singkatan dari  “Amanat Penderitaan Rakyat” merupakan slogan politik yang kerap disuarakan para aktivis demonstran anti PKI dan anti Bung Karno ditahun 1966, yang kemudian dikenal sebagai ‘Angkatan 66’. Selain Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), Ampera menjadi sebuah istilah yang sangat lekat dengan kelompok angkatan 66 yang anti Bung Karno dan pro Orde Baru. Bahkan, kabinet pertama yang dipimpin oleh Letjen Soeharto selaku ketua Presidium juga dinamakan Kabinet Ampera I.
Pengubahan nama jembatan Bung Karno menjadi jembatan Ampera ini tiada lain merupakan upaya rezim Orde Baru untuk mengabaikan jasa Bung Karno dalam proses pembangunannya. Hal ini juga dilakukan Orde Baru terhadap Gelora Bung Karno  di Jakarta, yang dirubah namanya menjadi Gelora Senayan (namun telah dikembalikan namanya menjadi Gelora Bung Karno ketika  Gusdur berkuasa  ditahun 2001).
Upaya pengembalian nama Bung Karno sebagai nama jembatan sungai Musi ini pernah dilakukan pada tahun 2001, ketika peringatan 100 tahun Bung Karno diperingati secara semarak diseluruh tanah air. Sebagian pihak, terutama kalangan PDI Perjuangan Sumatera Selatan, mengusulkan kepada pihak pemerintah provinsi dan DPRD agar mengubah nama jembatan Ampera menjadi jembatan Bung Karno kembali. Namun usulan ini ditolak dengan alasan usulan itu bernuansa politis. Selain itu, sebagian mantan aktivis angkatan 66 juga menolak usulan tersebut.
Bagi sebagian pihak, nama  mungkin bukanlah hal yang penting. Namun ketika kita bicara soal jasa seorang pahlawan yang berupaya dinafikan melalui  pengubahan  nama sebuah jembatan yang ia bangun demi perbaikan taraf hidup rakyatnya, maka hal itu  harus dikoreksi.  Adalah ironis, ketika ada beberapa negara  asing  menamai jalan protokol di ibukotanya dengan nama  ‘Soekarno’ yang menandai kekaguman dan penghargaan mereka  terhadap jasa sang Proklamator, negeri ini justru masih mendiamkan ‘manipulasi’ nama sebuah jembatan yang menunjukkan masih ‘tunduknya’ kita pada  manipulasi sejarah yang ‘diproduksi’ oleh  rezim tiran komprador asing.